ANTI
KORUPSI : SIAPKAH BERANTAS TIKUS BERDASI?
Choirinnisa Meilia Ayu Putri *
Korupsi, satu kata penuh
makna yang belum bisa meninggalkan bumi pertiwi. Menyongsong peringatan Hari
Anti Korupsi pada tanggal 9 Desember, perlu diketahui bahwa di negeri ini masih
banyak populasi tikus berdasi. Rakyat Indonesia mana yang tidak mengenal
istilah korupsi? Korupsi adalah tindakan yang sering dilakukan tanpa hati
nurani oleh pejabat publik, baik
politisi maupun pejabat negeri dan pihak lain yang terlibat dalam penyalahgunaan
kepercayaan rakyat untuk menguntungkan diri mereka sendiri. Menurut UU No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengartikan bahwa ”korupsi
adalah setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.” Apakah hanya di
pusat ibukota? Tentu tidak. Mereka bermigrasi ke provinsi, kabupaten, bahkan desa
kecil di pelosok negeri. Tikus berdasi tidak hanya ada pada birokrasi
pemerintahan saja, tapi mereka juga masuk dalam aspek lain yang bahkan tidak
bisa kita sadari. Para tikus berdasi selalu mencari celah dimana mereka dapat
menerima keuntungan untuk membuncitkan perut mereka sendiri.
Lalu apakah semua hal ini bisa dibiarkan?
Tingkat korupsi di negara Indonesia bisa dikatakan cukup parah. Kenapa? . Praktik korupsi di Indonesia terjadi di berbagai
level pemerintahan dan melibatkan banyak kalangan. Tikus berdasi ini menyebar
mulai dari anggota pemerintahan hingga pegawai negeri. Nominal uang yang
digondol pun beragam, ada yang ratusan juta, miliaran, hingga triliunan rupiah.
Menurut hasil kajian dari Indonesia
Corruption Watch ( ICW) yang dirilis pada Minggu (28/4/2019) menunjukkan
bahwa Kerugian negara akibat korupsi pada 2018
mencapai Rp 9,29 triliun. Itu bukanlah angka yang sedikit, mengingat hutang
negara Indonesia saat ini masih berada di angka sekitar Rp4.603,62 triliun
hingga akhir Juli 2019. Lalu pantaskah bila tindakan korupsi masih berlanjut?
Tentu pembaca tahu jawabannya. Contoh besar tindak pidana korupsi Indonesia
adalah Kasus korupsi Kotawaringin Timur oleh Supian Hadi, yang
mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 5,8 triliun, Supian diduga telah
menerima suap guna mempermudah perizinan tambang untuk tiga perusahaan.
Ketiganya adalah PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia, dan PT Aries Iron
Mining. Sebagai bahan pelicin atau biasa disebut uang teh untuk memuluskan
persekongkolan keji ini, politisi PDIP ini kabarnya menerima Toyota Land
Cruiser senilai Rp 710 juta, Hummer H3 senilai Rp 1,3 miliaran, dan uang
sebesar Rp 500 juta. Meski jika dilihat suap yang diterima terbilang besar,
namun kerugian yang diterima oleh negara jauh lebih besar. Diperkirakan, negara
dirugikan sekitar 5,8 triliun karena tindakan ini. Hal ini dihitung dari
kerusakan lingkungan, kerusakan hutan, dan hasil produksi tambang bauksit.
Tidak sampai di situ, kasus korupsi e-KTP juga
menjadi kasus yang paling fenomenal beberapa tahun belakangan. Bagaimana tidak,
seorang terpidananya, yakni Setya Novanto. Kerugian yang diterima negara juga
tidak main-main yaitu sekitar Rp2,3 triliun. Lalu
ada kasus yang banyak menyeret kader-kader Partai Demokrat yaitu Proyek
Hambalang. Proyek ini merupakan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana
Olahraga Nasional (P3SON. KPK mengendus adanya penyelewengan dana pembangunan.
Beberapa pejabat dinilai telah memasukkan uang anggaran ke kantong pribadinya.
Beberapa orang yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Andi Malarangeng dan
Ketum Demokrat saat itu Anas Urbaningrum yang menyebabkan kerugian negara
sebesar Rp706 miliar.
Ketiga kasus
tersebut hanyalah segelintir contoh kasus yang terlihat dan terendus oleh KPK.
Apakah masih ada kasus lain? Jawabannya adalah tak terhitung. Banyak sekali
kasus korupsi tak kasat mata berskala kecil hingga besar. Sangat miris memang,
tikus berdasi sudah mulai merambah ke skala kecil seperti instansi maupun
daerah-daerah tertentu. Namun, hal tersebut tidak diketahui oleh pihak-pihak
yang berwenang sehingga menyebabkan kerugian bagi rakyat. Oleh karena itu, saatnya
pemerintah bertidak lebih tegas untuk menumpas tikus-tikus berdasi. Walaupun
jika dilihat dari tren penindakan KPK
selama kurun waktu 2015-2018 yang selalu mengalami peningkatan yaitu sepanjang
tahun 2018 KPK telah menetapkan 261 orang sebagai tersangka dengan jumlah kasus
sebanyak 57. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang hanya menetapkan 128
orang sebagai tersangka dan 44 kasus, namun korupsi masih menjadi ancaman
nyata di Indonesia. Mulai dari hal kecil seperti istilah bahwa “Hukum Indonesia
tumpul ke atas dan runcing ke bawah” harus dihilangkan. Siapapun orang yang
terseret dalam kasus ini, baik petinggi maupun pekerja serabutan sekalipun
harus ditindak sama. Jangan sampai pihak yang berwenang juga ikut terbuai
dengan sogokan. Mengingat Jokowi pernah berkata dalam pidato tahunannya di MPR pada 16 Agustus 2019,
"Penegakan hukum yang keras harus didukung. Penegakan HAM yang tegas
harus diapresiasi. Tetapi keberhasilan para penegak hukum bukan hanya diukur
dari berapa kasus yang diangkat dan bukan hanya berapa orang dipenjarakan.
Harus juga diukur dari berapa potensi pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM
bisa dicegah, berapa potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan.” Lalu,
siapkah Anda? Mari kita merenung sejenak.
- Mahasiswa Fakultas Kedokteran Program Study Ilmu Keperawatan Universitas Brawijaya semester 1. Alumni SMA 1 Boyolangu-Tulungagung
- Mahasiswa ini sangat mengidolakan MTs. Miftahul Huda Karangsono Ngunut Tulungagung, sebagai Madrasah Adiwiyata Mandiri pertama di lingkungan Kementerian Agama Kabupaten Tulungagung, dan juga memberikan apresiasi yang tinggi kepada MTs. Miftahul.Huda Ngunut sebagai satu-satunya Madrasah swasta yang memiliki banyak prestasi unggul diberbagai bidang.
- Putra dari Bapak Ipda Marsid Dasi, SH (Wakapolsek Pakel )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar